infowarkop.web.id Di sebuah ruangan kecil berukuran 4×4 meter di kawasan Sekolah Calon Bintara, Kota Magelang, aroma kopi arabika menyeruak memenuhi udara.
Sembilan orang di dalamnya nyaris memenuhi seluruh ruang yang hanya berisi meja bar kayu, kursi besi bundar, dan dinding hijau lembut.
Di balik meja, Alfian Rizki Albar, atau yang akrab disapa Yoke, dengan tenang meracik kopi pesanan pelanggan satu per satu.
Soeroto, nama kedainya, bukan sekadar tempat ngopi. Ia adalah ruang kecil tempat waktu berjalan lebih lambat. Di sinilah setiap tetes kopi diracik dengan ketelitian dan setiap pelanggan menjadi bagian dari percakapan yang hangat.
“Di sini semua kopinya arabika,” ujar Yoke sambil tersenyum, matanya tetap fokus pada timbangan digital yang menampilkan berat bubuk kopi hingga gram terakhir.
Ruang Kecil dengan Filosofi Besar
Soeroto tidak tampak seperti kafe pada umumnya. Tidak ada musik keras, tidak ada barista sibuk menyiapkan belasan pesanan sekaligus.
Yang ada hanyalah Yoke, beberapa pengunjung yang duduk tenang, dan suara lembut air yang menetes dari alat seduh manual.
“Slow bar itu tentang menghargai proses,” katanya. “Setiap cangkir butuh waktu, tapi waktu itu yang membuat rasa kopi menjadi utuh.”
Yoke memulai Soeroto dengan konsep sederhana: menghadirkan pengalaman minum kopi yang personal. Ia ingin para tamu menikmati interaksi, bukan sekadar minuman.
“Kalau di sini, saya ingin tahu siapa yang minum kopi saya. Kita bicara, saling sapa, saling dengar,” ucapnya.
Cerita di Balik Nama Soeroto
Nama Soeroto diambil dari nama kakek Yoke, seorang pengajar di Magelang pada masa lalu.
Sosok itu dikenal hangat dan gemar berbagi cerita kepada siapa pun yang mampir ke rumahnya.
“Dulu kakek sering duduk di teras sambil ngopi dan ngobrol dengan tetangga. Itu inspirasi saya. Soeroto adalah bentuk penghormatan untuk beliau,” tutur Yoke.
Bagi Yoke, kopi bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita. Ia percaya setiap biji kopi menyimpan perjalanan panjang: dari petani, alam, hingga tangan barista yang menyeduhnya.
Melalui kedainya, ia ingin menghadirkan kembali suasana kebersamaan dan kehangatan yang mulai hilang di tengah gaya hidup serba cepat.
Suasana yang Membawa Kedamaian
Malam di Magelang terasa lebih tenang di kedai kecil ini. Lampu berwarna kuning keemasan menambah kehangatan suasana.
Beberapa pelanggan terlihat menulis, membaca buku, atau sekadar menatap uap kopi yang naik perlahan.
Di pojok kanan, sepasang muda-mudi saling bertukar tawa. Di sisi lain, seorang ayah dengan anaknya berbagi sepiring roti bakar sambil mengamati Yoke yang sibuk dengan alat seduh.
Setiap orang tampak larut dalam ritme lambat yang menenangkan.
“Kalau datang ke Soeroto, jangan buru-buru,” kata salah satu pelanggan, Ratri, mahasiswa yang rutin datang setiap akhir pekan.
“Yoke sering bilang, kopi enak itu bukan karena mahal, tapi karena kita punya waktu untuk menikmatinya.”
Kopi Sebagai Jembatan Interaksi
Yoke percaya, kopi bisa menyatukan siapa pun. Dalam kedainya, perbedaan umur, profesi, dan latar belakang mencair dalam percakapan ringan.
Beberapa pengunjung datang sendirian, lalu pulang dengan teman baru.
“Di sini, orang bisa ngobrol tanpa pretensi,” ujarnya. “Kopi jadi alasan untuk saling mengenal.”
Yoke juga kerap mengadakan sesi kecil bertajuk Ngopi dan Cerita, di mana pengunjung bebas berbagi pengalaman hidup sambil mencicipi kopi dari berbagai daerah.
Ia lebih senang menyebut Soeroto sebagai “ruang interaksi rasa dan cerita”, bukan sekadar kedai.
Filosofi Slow Bar di Tengah Budaya Cepat
Konsep slow bar seperti Soeroto lahir dari gerakan slow living — cara hidup yang mengajak orang berhenti sejenak dan menikmati momen.
Di tengah dunia yang serba cepat, banyak orang kehilangan kesempatan untuk benar-benar hadir.
“Orang sekarang terlalu terburu-buru,” kata Yoke. “Beli kopi pakai aplikasi, ambil, langsung pergi. Padahal, di balik secangkir kopi ada kisah, ada kerja keras.”
Karena itu, Soeroto sengaja membatasi kapasitas pengunjung agar suasana tetap intim. Tidak ada sistem antrean panjang atau layanan take away dalam jumlah banyak.
“Kalau penuh, ya tunggu. Itu bagian dari proses menikmati waktu,” ujarnya sambil terkekeh.
Menjaga Rasa dan Kualitas
Semua kopi di Soeroto berasal dari petani lokal di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Yoke menyeleksi langsung biji kopi yang ia gunakan.
Setiap batch disangrai dengan teliti, lalu digiling sesaat sebelum diseduh agar aromanya tetap segar.
Ia menggunakan teknik seduh manual seperti V60, Kalita Wave, hingga Aeropress.
“Manual brew itu seperti meditasi,” katanya. “Saya bisa fokus, mendengarkan suara air, mencium aroma kopi. Semua pancaindra terlibat.”
Hasilnya adalah kopi dengan karakter rasa yang jernih dan kompleks, mulai dari asam buah, manis karamel, hingga aftertaste yang lembut.
Kopi Sebagai Pengalaman, Bukan Produk
Yoke menolak melihat kopi hanya sebagai komoditas. Baginya, kopi adalah pengalaman yang seharusnya dirasakan dengan kesadaran penuh.
Ia ingin setiap pengunjung meninggalkan kedainya dengan perasaan tenang, bukan hanya kenyang kafein.
“Kalau orang datang ke sini dan bisa merasa lebih damai setelah ngopi, itu sudah cukup buat saya,” katanya dengan senyum kecil.
Kesimpulan: Soeroto, Rumah Kecil yang Mengajarkan Perlahan
Soeroto bukan sekadar tempat minum kopi. Ia adalah ruang kecil yang mengajarkan makna keheningan dan percakapan.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, tempat ini menjadi oasis bagi siapa pun yang ingin berhenti sejenak dan menikmati rasa hidup yang sederhana.
Setiap tegukan kopi di sini bukan sekadar minuman, melainkan momen reflektif — tentang waktu, tentang orang lain, dan tentang diri sendiri.
Karena di Soeroto, kopi tak hanya diseduh untuk diminum, tapi juga untuk menyapa jiwa yang sering lupa beristirahat.

Cek Juga Artikel Dari Platform jelajahhijau.com
