infowarkop.web.id – Ngopi selalu punya cerita. Kali ini, aku menerima pesan WhatsApp dari Bram, sahabat lama yang kini bekerja di Kedai Kopi Nusantara. Ia mengajakku mencicipi racikan kopi baru.
Aku berangkat dengan rompi favorit, sneakers, cincin polos, dan parfum beraroma kopi arabika. Lokasinya berada di Jalan Perjuangan, Depan kedai sederhana yang baru buka dua minggu.
“Silakan duduk,” sapa Bram sambil tersenyum. Kedainya kecil, hanya muat sekitar 12 orang. Suasananya sepi, mungkin karena harga kopi sedang mahal.
Aku duduk di dekat barista bar. “Mana kopinya?” tanyaku.
“Tenang, ini racikan spesial. Aku campur biji dari Sabang sampai Merauke,” jawab Bram sambil menimbang biji kopi.
Ia menggiling biji kopi, memasukkan bubuk ke French Press, lalu menyeduh dengan air panas. Timer dipasang tiga menit. Aku menunggu sambil membuka buku MADILOG yang ada di rak.
Tak lama, cangkir kopi tersaji. Warnanya pekat, uapnya naik perlahan. Aku menyeruput dengan hati-hati. “Srrrrpt… aaah.” Rasanya agak aneh, belum jelas nikmat atau tidak.
“Bram, kenapa rasanya seperti ini? Kamu tahu aku suka arabica Papandayan,” kataku.
“Maaf kawan, aku butuh orang buat nyobain racikan baruku,” jawabnya.
Aku tertawa kecil. “Oh, jadi kopi ini hasil malpraktik?”
Keduanya terdiam sejenak, lalu tertawa bersama. Di situlah terasa bahwa secangkir kopi bukan hanya soal rasa. Lebih dari itu, kopi adalah demokrasi kecil yang menyatukan perbedaan dalam suasana sederhana dan hangat.
Cek juga artikel berita terbaru dari hotviralnews.web.id
