infowarkop.web.id Petani kopi di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, kembali dihadapkan pada fluktuasi harga yang tidak menentu. Dalam beberapa bulan terakhir, harga kopi robusta mengalami penurunan di tingkat pengepul, membuat banyak petani memilih menahan hasil panennya di gudang.
Salah satu petani, Tantowi, mengaku sempat menikmati harga tinggi di masa sebelumnya. Saat itu, harga kopi sempat menembus Rp70.000 per kilogram, angka yang dianggap menguntungkan. Ia pun menjual seluruh hasil panen dan mampu menutup kebutuhan hidup keluarga selama beberapa bulan.
Namun tahun ini, situasinya berbeda. Harga robusta turun menjadi sekitar Rp60.000 per kilogram, bahkan lebih rendah di beberapa daerah pedalaman. “Kalau harga lagi turun, kami jual sedikit saja untuk kebutuhan makan. Kalau naik, baru kami lepas banyak,” ujarnya.
Fluktuasi ini membuat banyak petani ragu menentukan waktu panen dan penjualan. Di satu sisi, kopi adalah sumber utama penghasilan. Namun di sisi lain, menjual di saat harga rendah bisa membuat mereka rugi besar.
Strategi Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Ketika harga kopi turun, para petani biasanya menahan hasil panen di rumah. Mereka mengandalkan ruang penyimpanan sederhana untuk menjaga biji kopi tetap kering dan tahan lama. Strategi ini memang berisiko, terutama jika kondisi cuaca lembap, tetapi bagi petani kecil, menunggu sering kali menjadi satu-satunya pilihan logis.
“Kami simpan dulu di karung, jangan dijual semua. Tunggu harga naik,” kata Tantowi. Ia menyebut kebiasaan ini sudah berlangsung lama di kalangan petani kopi Lahat. Menahan stok dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pasar yang tidak berpihak pada petani.
Beberapa petani lain juga menerapkan sistem jual bertahap. Mereka melepas sebagian hasil panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara sisanya disimpan sebagai cadangan. Pola ini membantu mereka tetap bertahan di tengah fluktuasi.
Namun, tidak semua petani memiliki kemampuan untuk menahan stok. Banyak yang terpaksa menjual hasil panennya lebih cepat karena membutuhkan uang tunai. Bagi mereka, harga yang turun bukan lagi soal waktu, melainkan soal kebutuhan hidup yang mendesak.
Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Lahat
Bagi masyarakat pedesaan di Lahat, kopi bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga bagian dari kehidupan sosial dan budaya. Sebagian besar penduduk menggantungkan penghasilan pada perkebunan kopi yang diwariskan turun-temurun.
Ketika harga turun, dampaknya terasa hingga ke sektor lain. Daya beli masyarakat melemah, aktivitas pasar desa berkurang, dan banyak keluarga harus menunda rencana penting seperti memperbaiki rumah atau membiayai pendidikan anak.
Kondisi ini juga berdampak pada pedagang lokal dan pengepul kecil yang bergantung pada aktivitas jual-beli kopi. “Kalau petani nahan barang, kami juga berhenti beli. Uang kami muter di situ-situ saja,” ujar seorang pengepul di daerah Kikim Timur.
Fluktuasi harga ini menciptakan efek domino yang memengaruhi stabilitas ekonomi desa. Namun, di balik situasi sulit, petani tetap menunjukkan keteguhan dan semangat untuk bertahan.
Harapan pada Dukungan Pemerintah
Para petani berharap pemerintah hadir lebih kuat dalam menjaga stabilitas harga. Selama ini, harga kopi di tingkat petani sangat bergantung pada pasar global dan nilai tukar rupiah. Ketika harga internasional turun, dampaknya langsung terasa di desa.
Mereka menilai perlu ada sistem penyangga harga atau skema pembelian dari lembaga negara untuk mencegah kerugian petani. “Kalau pemerintah bisa bantu beli waktu harga turun, petani enggak perlu takut rugi,” kata Tantowi dengan nada penuh harap.
Selain itu, mereka juga menginginkan dukungan untuk peningkatan kualitas pascapanen. Banyak petani di Lahat masih menggunakan metode tradisional dalam pengeringan dan penyimpanan, sehingga kualitas biji kopi mudah menurun jika disimpan terlalu lama.
Peningkatan akses terhadap pelatihan, teknologi, dan fasilitas pengolahan dinilai dapat membantu petani meningkatkan nilai jual. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjual bahan mentah, tetapi juga bisa memproduksi kopi olahan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Potensi Kopi Lahat di Pasar Nasional
Kopi dari Lahat dikenal memiliki karakter rasa yang khas, dengan aroma kuat dan cita rasa pahit seimbang. Potensi ini sebenarnya besar untuk dikembangkan di pasar nasional, bahkan internasional.
Beberapa komunitas pecinta kopi di kota besar sudah mulai melirik kopi Lahat sebagai varian lokal yang menarik. Namun, potensi ini belum maksimal karena keterbatasan branding dan akses distribusi.
“Kalau saja ada koperasi atau merek lokal yang bantu promosi, kopi kami bisa lebih dikenal,” ujar salah satu petani muda yang baru memulai usaha roasting kecil di desanya. Ia optimis bahwa kopi lokal akan naik kelas jika petani diberi kesempatan untuk belajar manajemen bisnis dan pemasaran digital.
Antara Bertahan dan Menunggu Waktu
Bagi petani kopi di Lahat, menunggu bukan sekadar pilihan pasif, tetapi strategi bertahan hidup. Mereka tahu harga akan naik kembali, meski tidak tahu kapan. Sementara itu, kehidupan terus berjalan, ladang harus dirawat, dan kopi harus dijaga agar tidak rusak.
“Kalau harga rendah, jangan putus asa. Rezeki itu seperti panen, datangnya tidak selalu cepat,” tutur Tantowi sambil tersenyum.
Di tengah ketidakpastian pasar global, kisah para petani kopi di Lahat menggambarkan keteguhan dan kesabaran masyarakat desa. Mereka tetap menjaga harapan bahwa suatu hari nanti, setiap biji kopi yang mereka tanam akan dibayar dengan harga yang pantas.
Dalam secangkir kopi dari tanah Lahat, tersimpan cerita tentang perjuangan, ketekunan, dan keyakinan bahwa waktu terbaik untuk menikmati hasil kerja keras pasti akan tiba.

Cek Juga Artikel Dari Platform revisednews.com
