infowarkop.web.id PAGAR ALAM — Kota Pagar Alam, yang dikenal sebagai salah satu sentra penghasil kopi robusta terbaik di Sumatera Selatan, kini tengah menghadapi masa sulit. Saat puncak musim panen tiba, harga jual biji kopi justru anjlok tajam. Kondisi ini membuat para petani kecewa karena hasil kerja keras selama berbulan-bulan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima.

Di beberapa wilayah, harga jual biji kopi robusta kini hanya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 56.000 per kilogram. Padahal, pada awal musim panen, harga kopi sempat menyentuh angka Rp 70.000 per kilogram. Turunnya harga secara drastis ini membuat banyak petani terpaksa menahan hasil panennya sambil menunggu harga membaik.

Menurut sejumlah petani, penurunan harga ini sudah berlangsung bertahap. Awalnya, harga masih stabil di kisaran Rp 65.000 per kilogram, namun perlahan turun hingga menyentuh titik terendah ketika panen mencapai puncaknya.

Penurunan Harga Terjadi di Semua Kualitas

Tidak hanya kopi kualitas rendah, bahkan kopi robusta dengan kualitas terbaik pun ikut mengalami penurunan harga. Di tingkat pengepul, biji kopi kering dengan mutu tinggi kini hanya dihargai Rp 56.000–Rp 58.000 per kilogram. Padahal tahun lalu, pada masa panen raya, harga untuk kualitas serupa bisa menembus lebih dari Rp 70.000.

Beberapa petani mengaku bahwa biaya produksi yang tinggi semakin memperburuk keadaan. Mereka harus menanggung harga pupuk dan tenaga kerja yang naik, sementara hasil panen tidak diimbangi dengan harga jual yang layak. Akibatnya, keuntungan bersih jauh berkurang dibandingkan tahun sebelumnya.

Suara Petani: “Kami Cuma Bisa Pasrah”

Seorang petani kopi asal Kecamatan Dempo Tengah, Ahmad Rifai, mengatakan bahwa harga jual tahun ini benar-benar membuat para petani terpukul. “Kami sudah kerja keras merawat pohon, memupuk, dan memetik buahnya. Tapi begitu dijual, harganya jatuh. Mau tidak mau kami tetap jual karena butuh uang,” katanya.

Ahmad menambahkan bahwa beberapa petani lain memilih menyimpan hasil panen dalam karung selama beberapa minggu dengan harapan harga akan naik. Namun langkah ini juga berisiko karena biji kopi bisa menurun kualitasnya jika penyimpanan tidak dilakukan dengan benar. “Kalau terlalu lama disimpan, biji bisa lembap dan rusak. Jadi banyak juga yang akhirnya menjual cepat meski rugi,” ujarnya.

Penyebab Turunnya Harga Kopi

Analis pertanian daerah menilai penurunan harga kopi di Pagar Alam disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Pertama, produksi kopi dunia yang meningkat, terutama dari Brasil dan Vietnam, dua negara yang menjadi penentu harga global. Ketika pasokan global melimpah, harga kopi di pasar internasional otomatis menurun.

Kedua, nilai tukar dolar terhadap rupiah juga memengaruhi harga ekspor kopi dari Indonesia. Saat dolar menguat, pembeli luar negeri cenderung menekan harga agar tetap kompetitif. Dampaknya langsung terasa di tingkat petani.

Selain itu, kondisi cuaca juga berpengaruh. Meskipun tahun ini panen tergolong baik, curah hujan yang tinggi di beberapa daerah membuat sebagian hasil panen mengalami penurunan kualitas. Kopi yang basah lebih sulit dikeringkan dan memerlukan biaya tambahan untuk pengolahan.

Dampak ke Ekonomi Lokal

Penurunan harga kopi tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga oleh pelaku usaha lain di sekitar wilayah perkebunan. Banyak pengepul dan pedagang kecil yang mengaku omzetnya menurun drastis karena daya beli petani melemah. “Biasanya saat panen kopi, ekonomi di desa ikut hidup. Tapi sekarang, banyak yang hemat karena hasil penjualan kopi sedikit,” ujar Lina, pedagang sembako di kawasan Dempo Utara.

Kondisi ini juga berdampak pada aktivitas ekonomi harian di Pagar Alam. Beberapa warung kopi dan toko peralatan pertanian mencatat penurunan transaksi hingga 30 persen. Para pelaku usaha berharap harga kopi segera stabil agar perputaran uang di masyarakat kembali normal.

Harapan Petani dan Upaya Pemerintah

Melihat situasi ini, para petani berharap pemerintah dapat turun tangan membantu menstabilkan harga. Salah satu langkah yang diusulkan adalah memperkuat peran koperasi tani agar petani tidak sepenuhnya bergantung pada tengkulak. Dengan sistem jual kolektif, harga kopi diharapkan bisa lebih menguntungkan bagi petani.

Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan memberikan pelatihan pengolahan pasca-panen. Dengan begitu, petani tidak hanya menjual biji kopi mentah, tetapi juga bisa memproduksi kopi olahan dengan nilai jual lebih tinggi. Upaya diversifikasi ini diyakini mampu menambah pendapatan petani dan mengurangi ketergantungan terhadap fluktuasi harga pasar global.

Beberapa komunitas petani muda di Pagar Alam mulai mengambil inisiatif dengan menjual kopi secara daring. Mereka mengemas kopi hasil panen sendiri dan menjualnya langsung ke pembeli melalui platform digital. Meski skala usaha masih kecil, cara ini terbukti mampu memberikan margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan menjual ke tengkulak.

Penutup

Harga kopi yang anjlok saat panen raya menjadi pukulan berat bagi petani di Pagar Alam. Di tengah kondisi pasar yang tidak menentu, mereka harus mencari strategi baru untuk bertahan. Dukungan dari pemerintah, koperasi, dan pihak swasta sangat dibutuhkan agar industri kopi lokal tidak melemah.

Bagi masyarakat Pagar Alam, kopi bukan sekadar komoditas, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan sumber kehidupan. Karena itu, menjaga kestabilan harga kopi sama artinya dengan menjaga kesejahteraan ribuan keluarga yang menggantungkan hidup dari setiap butir biji kopi robusta yang tumbuh di lereng pegunungan Dempo.

Cek Juga Artikel Dari Platform suarairama.com

By mimin